Desa Pengilon adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Temanggung, Kecamatan Bulu. Desa Pengilon memiliki luas wilayah 79,843000 Ha, berada pada ketinggial 815 m DPL, suhu rata-rata 23o C, dan curah hujan 774 mm. Desa Pengilon berbatasan dengan sebelah utara: Desa Pasuruhan, sebelah selatan: Desa Pakurejo, sebelah timur: Desa Bulu, sebelah barat: Desa Pasuruhan. Rata-rata mata pencaharian warga Desa Pengilon adalah Petani, sesuai dengan wilayah Desa Pengilon yang sebagian besar adalah lahan Pertanian.
Darimanakah nama Desa Pengilon berasal? Hal ini bermula pada sekitar tahun 1749 – 1800 atau pada masa Kerajaan Mataram yang dipegang oleh Pakubuwono Ke III, datanglah seorang Punggawa dari Kerajaan Mataram yang bernama Raden Ronggo Yitno, pada kala itu Kerajaan Mataram sedang mengalami masa-masa sulit akibat peperangan. Beliau melakukan perjalanan berpindah-pindah tempat dan kebetulan beliau terakhir menetap di Desa Pengilon yang pada waktu itu belum mempunyai nama. Waktu pun berlalu dan pada suatu hari muncul sebuah mata air yang besar sekali di sebelah barat desa tersebut, dan Raden Ronggo Yitno yang menetap di desa tersebut mengatakan kepada warga desa tersebut bahwa jika mata air tersebut dibiarkan begitu saja maka desa tersebut tidak lama lagi desa tersebut akan tenggelam dan menjadi rawa. Seluruh warga pun panik dan melakukan musyawarah bagaimana cara mengatasi mata air yang semakin membesar tersebut tetapi warga tidak menemukan bagaimana cara mengatasinya, kemudian para wargapun meminta bantuan kepada Raden Ronggo Yitno untuk mengatasi masalah tersebut. Raden Ronggo Yitno pun menyanggupinya, beliau mengambil sepotong kaca kemudian ditutuplah mata air tersebut menggunakan potongan kaca tersebut. Raden Ronggo Yitno berkata mata air tersebut tidak ditutup seutuhnya, mata air tersebut masih akan mengalir sebagian untuk kebutuhan warga desa tersebut, dengan begitu nama desa tersebut diberi nama Desa Pengilon yang diambil dari kaca yang ditutupkan pada mata air tersebut yang memantulkan cahaya dan berkaca.
Sekitar tahun 1780 Raden Ronggo Yitno mengajak sepupunya yang bernama Empu Soejaeman / Mbah Kyai Soejaeman untuk menetap dan tinggal di Desa Pengilon yang kebetulan pada masa itu kondisi Desa Pengilon masih berupa rimbunan pepohonan, warganya masih sedikit dan jarak antar rumahnya masih berjauh-berjauhan. Keseharian Raden Ronggo Yitno dan Empu Soejaeman beraktifitas sebagai petani dan berternak sama seperti warga Desa Pengilon, keduanya dikenal sebagai orang yang berilmu/ orang sakti.
Disela kesibukannya sebagai petani dan berternak, Empu Soejaeman juga sering membuat pusaka atau keris dan sabit yang beliau gunakan untuk mencari rumput untuk makan ternaknya. Anehnya dalam pembuatan Benda Pusakanya beliau tidak menggunakan alat dalam proses pemepahan Besinya tidak seperti jaman sekarang yang menggunakan palu untuk memepahnya, Empu Soejaeman menggunakan jari tangannya untuk membentuk lingkuk-lingkuk keris yang dibuatnya, selain itu beliau juga menggunakan kubangan air yang digunakan untuk menjamas Pusaka yang beliau buat yang bernama Ngasinan. Kubangan air tersebut semakin lama semakin melebar dan besar, masyarakat pun menamai kubangan tersebut dengan nama Sendang Ngasinan yang sekarang lebih dikenal sebagai Blumbang Asinan. Tempat tersebut dikenal oleh warga Desa Pengilon sebagai tempat yang Wingit/ Angker mengandung mistis yang besar. Sampai saat ini kejadian-kejadian aneh sering terjadi di tempat tersebut, air Sendang Asinan tampak berwarna keruh seperti berkarat tetapi jika diambil airnya berwarna jernih. Pada tahun 2002-2003 ada seseorang yang berasal dari sekitar Desa Pengilon yang bertapa / tirakat di tempat tersebut untuk tujuan jelek yaitu untuk meminta Nomor Togel, orang tersebut bertapa mulai dari selepas Sholat Maghrib sampai pukul 22.00 wib namun belum memperoleh apa-apa, menjelang tengah malam tiba-tiba orang tersebut terlempar dari Sendang Asinan tersebut sampai ke sawah yang berada di seberang jalan.
Sekitar tahun 1825 terjadi perang disekitar wilayah Temanggung, Parakan dan Magelang, yaitu perang antara Pangeran Diponegoro dan Belanda, warga Desa Pengilon pun merasa ketakutan, daerah-daerah sekitar Desa Pengilon sudah di jatuhi Bom oleh Belanda, untungnya wilayah Desa Pengilon yang pada waktu itu penduduknya sudah berkembang banyak tidak pernah terdeteksi oleh Belanda, konon katanya warga Desa Pengilon dilindungi oleh do’a Empu Soejaeman, Empu Soejaeman / Mbah Kyai Soejaeman dikenal sebagai wali atau sesepuh di Desa Pengilon yang sampai saat ini masih dikenal oleh warga Desa Pengilon, namun tidak dengan Raden Ronggo Yitno yang mengajaknya tinggal di Desa Pengilon, Raden Ronggo Yitno tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana tempat makamnya tetapi masih dipastikan masih berada di lingkuingan makam Desa Pengilon.
Sekitar tahun 1830-1850 an, Empu / Mbah Kyai Soejaeman dikabarkan meninggal namun warga tidak mempercayainya karena ada salah satu warga Desa Pengilon yang melihat beliau pergi menunggang kuda ke arah selatan, namun jenazah beliau oleh kaluarga sudah dimakamkan di pemakaman umum Desa Pengilon dan sampai sekarang Mbah Kyai Soejaeman dikenal sebagai Punden Desa/ sesepuh Desa Pengilon. Warga Desa Pengilon sering berziarah di makam beliau. Pada tahun 1870an makam beliau diberi cungkup/ atap yang terbuat dari bambu dan genting oleh warga Desa Pengilon, kemudian pada tahun 1980an cungkup tersebut direnovasi dan dibuat permanen oleh warga Desa Pengilon.
Beberapa mitos yang berada di Desa Pengilon:
- Penunggu mata air / sekarang dikenal sebagai Kali Doh adalah Seekor Macan Putih yang sering menampakkan wujudnya dibawah pohon beringin besar yang tumbuh disekitar mata air.
- Sendang Asinan pada waktu musim hujan kondisinya kadang dangkal, sedangkan pada musim kemarau kondisinya penuh. Mitos yang beredar bila kondisi air penuh maka pertanda bila masyarakat Desa Pengilon hidup makmur, namun bila kondisi airnya dangkal maka yang terjadi adalah sebaliknya.